[Soal ISG, Wajib Baca Sampai Habis]
Oleh Tokoh Riau Tabrani Rab, terbit di Riau Pos hari ini
Dalam tradisi pinang meminang yang biasanya diiringi dengan mengantar tanda dan mengantar belanja pada masyarakat Melayu, segala sesuatunya diputuskan dengan mufakat antara pihak laki-laki dan pihak perempuan. Salah satu yang dimufakatkan adalah sanksi yang dikenakan bila salah satu pihak mungkir. Wanti-wanti ini perlu sebagai bentuk konsekwensi, dimana biasanya bila pihak laki-laki yang mungkir, sanksinya cincin tanda atau hantaran belanja yang telah diberikan hilang dengan sendirinya. Sebaliknya bila pihak perempuan yang mungkir, sanksinya wajib mengembalikan yang telah diterima dua kali lipat. Bila tidak mematuhi kesepakatan, berarti tergolong orang yang tak beradat. Demikianlah ibaratnya Riau saat ini, telah dipinang dengan segala ketentuan yang berlaku diputuskan batal secara sepihak begitu saja oleh pihak peminang.
Penunjukkan Riau sebagai tuan rumah ISG III tahun 2013 ini setelah Islamic Solodarity Sport Federation (ISSF) menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah. Secara resmi penunjukkan Riau terjadi di Jeddah Conference Palace. Pada Host Country Agreement ISG III 2013 ini hadir Execitive Vice President dan Chief Executive Bureau, HRH Prince Faisal Fahd Abdul Aziz sebagai wakil ISSF, sementara dari pihak Indonesia dihadiri oleh Menpora saat itu Andi Mallarangeng, Ketua KONI/KOI Rita Soebowo, dan Gubernur Riau Rusli Zainal. Dipilihnya Riau sebagai tuan rumah atas pertimbangan, karena pada tahun 2012 Riau menjadi tuan rumah PON XVIII dan yang paling penting untuk mengembangkan agar iven internasional tidak lagi hanya terpusat di Jawa saja. Pada tahun 2011 hal ini telah mulai dirintis dengan ditunjuknya Palembang bersama Jakarta sebagai tuan rumah SEA Games.
ISG III yang semula akan dilangsungkan pada Juni 2013 sesuai dengan hasil rapat di Kantor Kemenpora pada 14 Maret 2013 resmi diundur menjadi bulan Oktober 2013 dengan tempat tetap di Riau. Alasan pengunduran jadwal ini, karena waktu proses tender renovasi venue belum cukup bila tetap dilaksanakan pada Juni 2013 serta belum cairnya dana sebesar Rp200 miliar dari pemerintah pusat dan Rp45 miliar dari Pemprov Riau.
Bila menentukan Riau sebagai tuan rumah ditentukan bersama dengan perwakilan ISSF, Menpora, Ketua KONI/KOI dan Gubernur Riau, tetapi waktu membatalkan cukup oleh Menpora sendiri saja. Kebijakan Menpora yang sangat tidak bijak ini merupakan PELECEHAN pusat terhadap Riau. Arogansi pusat terhadap Riau memang sejak era reformasi hampir sirna apalagi setelah ”Suara Opsi Merdeka Mayoritas pada Kongres Rakyat Riau II tahun 2010 yang lalu”. Kebijakan Menpora membatalkan Riau sebagai tuan rumah ISG III seolah-olah membangkitkan batang terendam dan membangunkan harimau tidur. Kalaupun masih ada kekurangan Riau sebagai tuan rumah untuk iven olahraga berskala internasional bukankah Kemenpora turut bertanggungjawab. Di samping itu bukankah dana yang dijanjikan oleh pemerintah pusat untuk ISG III ini sampai detik ini belum juga turun. Oleh karena itu pembatalan Riau sebagai tuan rumah adalah bentuk kegagalan Menpora di dunia internasional sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya pendirian sang Menpora yang dengan begitu mudah memindahkannya ke Jakarta. Oleh karena itu patut diduga duduknya Roy Suryo sebagai Menpora terlalu sangat prematur yang dibuktikan dengan penyelesaian masalah yang dilakukannya layaknya masyarakat kelas bawah.
Pada tanggal 30 April 2013 Menpora Roy Suryo minta maaf pada masyarakat Riau atas dipindahkannya ISG ke Jakarta. “Saya minta maaf kepada masyarakat Riau,” kata Roy Suryo. Ditambahnya lagi, “Saya harus bertanggung jawab terhadap keputusan yang memang harus diambil”. Pada tanggal 2 Mei 2013 Kemenpora kebakaran jenggot sehingga harus mengadakan konferensi pers, atas pernyataan Wakil Ketua I Panitia Daerah ISG yang menuding keputusan sepihak dari Menpora. Sekali lagi arogansi Kemenpora muncul, dimana mereka boleh menyinggung orang, tetapi pantang tersinggung.
- Perlukah Kongres Rakyat Riau III?
Di lain pihak entah dalam rangka menghibur diri, entah dalam rangka mengampu Gubernur Riau masih berharap ISG tetap di Riau sekaligus memuji Menpora sebagai orang yang bijaksana. “Saya yakin Pak Menpora bijaksana. Mungkin beliau mendengar dari orang-orang yang tidak jelas memberikan masukan. Karena itu kewajiban saya memberikan masukan kepada Pak Menteri,” kata gubernur. Sepertinya Gubernur Riau pada saat ini dalam posisi harap-harap cemas, kata orang sekarang fifty-fifty. “Saya katakan, kalau tidak ada ISG, ISG ngak jadi, anggaran kemana, oh tidak. Program perbaikan dan penyempurnaan tetap kita lakukan,” kata gubernur lagi. Maksud gubernur mungkin jadi atau tidak jadi ISG di Riau, perbaikan dan penyempurnaan venue tetap dilakukan. Walaupun terkesan mubazir perbaikan venue bolehlah, tetapi bagaimana dengan sekian banyak dana yang telah terbuang, bagaimana dengan tenaga yang telah direkrut. Kalau sampai ini terjadi berarti “arang habis besi binasa” dan terkesan pepatah “bayang-bayang sepanjang badan” tidak dipikirkan oleh Riau ketika sanggup menjadi tuan rumah ISG.
Untuk pelaksanaan PON XVIII yang lalu walaupun sampai saat ini masih banyak hutang secara penyelenggaraan, kita bolehlah “menepuk dada”, tetapi sebaliknya bila gagal menjadi tuan rumah ISG apakah kita sanggup “menepuk pinggul”. Untuk itu sudah waktunya Riau berani menunjukkan gigi kepada pemerintah pusat. Pendek kata kalau Menpora bisa bertindak sesuka hatinya Riau juga bisa. Pepatah Melayu sejak lama telah mengatakan “Raja adil raja disembah – Raja zalim raja disanggah”.
Untuk diketahui oleh Roy Suryo, dari tiga provinsi di tanah air yang menyelenggarakan Kongres Rakyat, ketiganya mendapat dukungan suara terbanyak untuk opsi merdeka, namun hanya Riau lah provinsi yang paling persuasif dan kondusif. Dua provinsi lainnya mendapat jatah otonomi khusus, Papua berdasarkan Undang-Undang No 21 Tahun 2001 dan Aceh berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 sampai saat ini belum sekondusif Riau. Sementara Riau sangat legowo dengan otonomi sebagaimana provinsi lainnya. Konduksifnya keamanan di Riau tak terlepas dari andil para tokoh masyarakat Riau, dan untuk itu disarankan agar Roy Suryo dapat menghargai kondusifnya Riau dan menghargai peran tokoh masyarakat yang turut membangun situasi kondusif itu. Tokoh masyarakat Riau yang juga sastrawan angkatan Balai Pustaka Allahyarham Suman Hs, pernah berkata “Orang tua pernah muda, tapi orang muda belum pernah tua”. Keputusan semena-mena Roy Suryo dengan memindahkan ISG dari Riau ke Jakarta harus diakui oleh Roy Suryo menunjukkan bahwa ia belum pernah tua dan masih perlu banyak belajar dalam mengambil keputusan.
Sejak awal saya termasuk orang yang tidak setuju Riau Tuan Rumah ISG III, karena menurut saya terlalu banyak menyerap APBD dengan beruntunnya Riau menjadi tuan berbagai iven olahraga. Selain itu masih terlalu banyak sektor yang harus dibenahi seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain sebagainya. Tetapi setelah hampir tiga tahun ditunjuk sebagai tuan rumah dan menjelang hari H, Menpora begitu saja memindahkannya. Akankah pemerintah pusat mau menumpang begitu saja kepada Riau tanpa harus mengucurkan dana. Tidakkah yang diharapkan Riau sebaliknya, dengan ditunjuknya Riau sebagai tuan rumah bekas fasilitas yang tertinggal itu dapat dinikmati oleh Riau.
Bila pada tahun 1956 Kongres Rakyat Riau (KRR) I telah mewujudkan opsi memperjuangkan Riau berpisah dari Sumatera Tengah, pada tahun 2000 Kongres Rakyat Riau (KRR) II melahirkan opsi merdeka dengan suara 270, mengalahkan opsi otonomi khusus 199 suara dan opsi federal 146 suara. Dengan PELECEHAN Riau oleh pusat atas dipindahkannya begitu saja ISG III dari Riau ke Jakarta perlulah pertimbangan diadakannya Kongres Rakyat Riau (KRR) III yang tentunya dengan opsi demi tegaknya marwah Riau? Inilah tanggung jawab seluruh rakyat Riau. Kesampingkan dulu perbedaan persepsi selama ini dan bersatulah demi marwah Riau!!