Kehidupan imigran Sheng Huizhen termasuk sukses di Amerika Serikat (AS). Ia mendapat gelar PhD di bidang Biokimia, dan mendapat pekerjaan sebagai peneliti postdoctoral di National Institute of Health.
Ia mendapat green card atau kartu izin tinggal di AS. Kemudian ia membeli rumah di Maryland dan akhirnya mendapat posisi bergengsi sebagai staf ilmuwan. Namun, akhirnya ia kembali ke China.
Hukum federal AS melarang penggunaan uang publik untuk riset embrio manusia, dan hal ini mencegahnya melakukan apa yang diinginkanya. Pemerintah China menggodanya agar mau kembali ke China dengan uang sebesar US$ 875 ribu (Rp 7,9 miliar).
Uang tersebut untuk laboratorium baru tempatnya melakukan riset. “Karena perbedaan kultur dan latar agama, publik China lebih bersahabat mengenai riset embrio,” kata Sheng 55 tahun yang keluarganya tetap tinggal di AS.
Hal ini dilakukan pemerintah China guna mendorong batas-batas inovasi dan apa yang diterima dalam ilmu kedokteran. Ilmuwan China lain yang juga kembali ke negerinya adalah Jiang He, 50. Jiang merupakan peneliti National Heart, Lung, and Blood Institute.
Kini, mantan warga Potomac ini menjadi CEO Frontier Biotechnologies di pusat kota metropolitan Chongqing. Perusahaan ini mengembangkan produk anti-HIV. “Jika saya memulainya di AS, saya butuh waktu lama mencari pendanaan,” kata Jiang.
“Saya mungkin hanya akan mendapat beberapa ratus dolar dan hanya mampu mempekerjakan sepasang ilmuwan. Di China saya memiliki 30-40 pegawai”.[ito]
Inilah Ilmuwan yang Berjasa Mentransformasi China
Transformasi China terjadi di segala bidang. Hal tersebut terpicu para ilmuwan yang kembali setelah menuntut ilmu di Amerika Serikat (AS).
Banyak ilmuwan Negeri Panda menganggap bakat ilmiah dan lingkungan di AS merupakan terbaik di dunia. Di antara ilmuwan itu terdapat beberapa nama yang mentransformasi China.
Jian He, 50 tahun, merupakan peneliti di National Heart, Lung, and Blood National Institutes of Health (NIH) hingga 1999. Kini, mantan warga Potomac ini menjadi CEO Frontier Biotechnologies di pusat kota metropolitan Chingqing. Perusahaan ini mengembangkan produk anti-HIV.
Ni Jian, 44 tahun, merupakan peneliti tumor di NIH dan menjadi ilmuwan di Human Genome Sciences di Rockville. Kini, ia menjadi kepala Human Antibodomics, perusahaan di timur Suzhou yang mengembangkan antibodi untuk kanker.
Jin Lei, 54 tahun, berada di AS selama delapan tahun di NIH di North Carolina. Ia kembali ke China pada 2001 untuk melakukan penelitian pada katup jantung bioprosthetic. Kemudian, ia membangun Beijing Biren Medical Technology.
Masih banyak ilmuwan tirai bambu yang kembali ke negara asalnya untuk membangun China. Alasannya, tak bisa menolak tawaran yang ditawarkan negara itu. Yakni biaya hidup murah, akses mudah ke materi klinik, pendanaan pemerintah dan kolaborasi di segala bidang. [vin]
India Gagal Bujuk Ilmuwan Pulang Kampung
Berbeda dengan China, India gagal menarik ilmuwannya yang belajar di luar negeri. Ilmuwan berpendidikan barat itu terlihat seperti orang India, namun berpikiran Amerika.
Ilmuwan dan dosen Institute Massachusetts Shiva Ayyadurai dan keluarganya hampir 40 lebih tinggal di Amerika Serikat (AS). Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk kembali ke India untuk membantu negaranya.
Pada Juni, Ayyadurai pindah dari Boston ke New Delhi guna menepati janjinya. Bermodal ijazah dari AS, ia terpancing program ambisius pemerintah untuk memikat para ilmuwan berbakat melalui program Desi Diaspora kembali ke tanah air.
”Tampak sempurna,” katanya. “Namun yang terjadi adalah kebalikannya,” tambahnya. Kini, Ayyadurai mengetahui penyebabnya, pendidikan bisnis baratnya jika dipertemukan dengan pemerintahan buram dan tak efisien India akan menemui ketidakcocokan. Karenanya, Ayyadurai kembali ke Boston.
Studi Harvard University Vivek Wadhwa dan akademisi lain menemukan 34% returnee sulit kembali ke India. Returnee mengeluhkan lalu lintas India, kurangnya infrastruktur, birokrasi dan polusi.
Bagi banyak returnee, kesempatan melakukan hal baik dibayangi budaya tempat kerja yang terasa asing, bahkan membuat frustasi. Terkadang, returnee merasa lebih cocok dengan sikap dan cara pandang orang Amerika atau Inggris. Bahkan, beberapa returnee tinggal beberapa bulan di India, kemudian kembali ke Barat.
Managing partner firma pencarian eksekutif global Spencer Stuart India, Anjali Bansal mengatakan returnee mengalami kesulitan karena mereka ‘terlihat seperti orang India namun berpikiran Amerika’. Orang berharap mereka mengetahui negara mereka karena penampilan mereka, namun mereka tak terbiasa dengan cara kerja di India.
”India cukup ambigu dan memiliki cara kerja yang kacau,” kata Bansal. “Saya sering mendengar mereka mengatakan ‘Ini sangat tak efisien dan tak profesional’”.[ito]
Source: Klikunik.com
Wah di indonesia sebenarnya banyak orang pintar, hanya saja sangat jarang ada yang mau mewadahi
ReplyDeletecome to my blog
http://catatan-yunan.blogspot.com